Sabtu, 11 Desember 2010

   Gerakan perubahan yang terjadi di Indonesia selalu saja tidak lepas dari pengaruh yang diberikan dari kalangan intelektual secara umum dan lebih khusus mahasiswa Indonesia. Dalam proses membangun gerakan tentu ada banyak bentuk yang bisa dilakukan oleh mahasiswa, misalnya : Demonstrasi, Menulis, dan terjun dalam pemberdayaan social di masyarakat bawah. Namun, ketika mahasiswa memilih untuk berdemonstrasi secara anarkis maka perlu dilakukan evaluasi terhadap aksi tersebu. Mengapa harus anarkis…?

   Tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan zaman menuntun semua pihak termasuk mahasiswa untuk berhati-hati dalam mengambil langkah-langkah progresif dalam mengawal perubahan Indonesia. Sebab kalau tidak mahasiswa justru akan menjadi momok bagi masyrakat yang diperjuangkannya. Kita ambil salah contoh kasus mengenai aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam beberapa hari ini. Tak ada bahasa kesal lain selain : mengapa aksi mahasiswa selalu berujung anarkis.
   Perihal ini menjadi perdebatan sendiri bagi kalangan yang melakukan aksi dan objek dari aksi tersebut (baca: masyarakat). Terjadi perbedaan dalam menafsirkan sikap anarkis mahasiswa. Satu sisi mahasiswa menjadikan aksi anarkis sebagai salah satu jalan untuk menggaungkan isu/wacana yang ingin diangkat pada sisi lain masyarakat memandang aksi tersebut justru membuat masyarakat merasa terganggu.
    Jadi, ketika terjadi perbedaan perspektif dalam memahami aksi anarkis tersebut apa yang seharusnya menjadi objek yang bisa menyatuan cara pandang meskipun dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Tentunya adalah bagaimana aksi itu bisa menggaung dan tidak mengganggu masyarakat dalam menjalankan aktifitas kesehariannya.
   Pernyataan kuncinya adalah pertama, mahasiswa menjadi aktor kunci dalam mengendalikan aksi-aksinya, kedua; perlu diingat bahwa aksi dilakukan untuk menekan kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai koridor yang berlaku sehingga berdampak positif terhadap masyarakat inodnesia, artinya bagaimana agar perjuangan mahasiswa bisa merubah kebijakan tanpa mengganggu masyarakat. Ketiga; Jika aktifis mahasiswa tidak bisa mengendalikan posisinya dalam menyuarakan aspirasi maka akan dikendalikan oleh arus politik para penguasa birokrasi.
   Kata kunci diatas jika tidak menjadi evaluasi maka yang muncul adalah :
1.     Selamanya mahasiswa akan menjadi ayam-ayam tersesat yang diatur sesuai dengan konstalasi politik para penguasa yang saling gontok-gontokan.
2.      Makassar sebagai kota yang berkembang di KTI dianggap sebagai daerah dengan kultur masyarakat yang kasar, terlebih lagi itu dilakukan oleh kaum mahasiswa, yang seharusnya menjadi contoh terhadap kemajuan peradaban.
   Opini yang saya tulis ini bukanlah sebagai gagasan yang baru, tinggal bagaimana ini disadari dan ditanamkan dalam diri setiap aktifis mahasiswa yang selalu rindu untuk menyuarakan aspirasi dijalanan.
The FighterHereafterThe Switch (2010)The Next Three Days127 Hours 

0 komentar: