Senin, 21 Maret 2011

Oleh : Syahnudin
(Alumni PSIK-Indonesia)

Fenomena kegilaan
Sampai detik ini perjalanan demokrasi di Indonesia masih berjalan di tempat, hanya keringat panas yang berbau konflik SARA (Suku, agama dan ras) yang di hasilkan, sementara rakyat indonesia tidak menganggap hal yang berarti. Lihat saja hampir satu dekade perjalanan reformasi yang berubah hanyalah Presiden, Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, Lurah, dan Ketua RT/RW. Semua jabatan ini menjadi sumber pertengkaran di kalangan elit politik professional. Pertengkaran yang tadinya berada pada tingkatan pusat, kini penyakit gila ini merambah sampai ke tingkat pemilihan RT dan RW. Menjadi hal yang ironis jika yang di lakukan oleh politisi kita hanyalah bertengkar, bertengkar dan bertengkar. Apa kata dunia...!!!

Benar kiranya kalau ada beberapa padangan yang mengatakah bahwa demokrasi hanya melahirkan konflik dan keributan di sana-sini. Pandangan ini pun di kuatkan dengan bahasa () bahwa : ...pada umumnya, demokrasi memang sering ribut teteapi jarang tidak stabil. Di samping memang benar bahwa rakyat mungkin akan melakukan march, berteriak, menantang dan urakan, tinjauan kepada sejarah menunjukan bahwa dalam masyarakat yang kompleks dan maju, pemerintahan demokratis adalah sangat stabil. Sebagaimana revolusi sosial yang keras tidak pernah menghasilkan demokrasi, maka demokrasi pun tidak pernah menghasilkan revolusi sosial yang keras.


Akan tetapi dalam konteks sekarang, justru pandangan di atas tidak  memberikan manfaat yang baik buat rakyat. Muncul banyak gejala kegilaan yang terjadi di masyarakat, karena perilaku gila politikus Bangsa(t) Indonesia. Masyarakat yang tadinya sibuk memikirkan sawah dan ladangnya agar bisa sukses sampai musim panen, tiba-tiba meninggalkan masa panennya dan bergabung bersama tim sukses/pemenang calon kepala desa sampai musim pemilihan presiden. 


Yang muncul kemudian adalah trauma masyarakat terhadap politik praktis Pilkada, bahwa kita masyarakat tidak mau di tipu oleh para politisi lokal sampai nasional. Trauma ini pula yang membuat masyarakat cerdas untuk menipu para politisi yang ada. Imbasnya; masyarakat dan pemerintah tidak membangun rasa saling percaya, akhirnya gerak pembangunan demokrasipun hanya berjalan di tempat secara prosedural tidak menyentuh sampai pada, apa yang sebenarnya di harapkan oleh demokrasi tersebut. Tiada lain adalah kesejahteraan bagi seluruh kehidupan warga negara indonesia.

Inilah gambaran demokrasi Indonesia; demokrasi yang tidak menyentuh pada hal-hal yang subtantif. Gejala ini muncul sebagai petanda bahwa pemerintah SBY tidak berjuang untuk kepentingan rakyat, sementara atas nama rakyat di terpilih sebagai presiden RI, secara demokratis ini sungguh memilukan. Sementara Nurcholish Madjid menegaskan dalam salah satu tulisannya Demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk memelihara, melestarikan dan mengukuhkan aset nasional kita sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan., persatuan dan kesatuan dan menjamin kelangsungan pembangunan yang telah menemukan momentumnya dalam orde baru, menuju ”era tinggal landas”.

Manfaat Demokrasi
Bagaimana demokrasi bisa memberikan manfaat, sementara apa yang di butuhkan oleh demokrasi tidak pernah di wujudkan oleh penguasa (baca:pemerintahan SBY-JK) secara maksimal. Pada prinsipnya, sesuatu tidak akan memberikan manfaat jika tidak di perjuangkan dengan maksimal.

Demokrasi pasca Soeharto sampai dengan SBY, tidak mampu memberikan hal yang berarti di mata masyarakat indonesia. Indikatornya adalah sejauh mana perjuangan SBY dalam mewujudkan agenda reformasi tahun ’98, di antaranya adalah penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; dll)

Sudah sangat susah membedakan antara demokrasi dan democreazy. Teriakannya demokrasi jiwanya democreazy (baca: gila). Atau mungkin era reformasi ini lebih pantas kita sebut dengan era kegilaan demokrasi. Penulis berpikir tidak harus sefatal itu, demokrasi tetap memberikan manfaat, tetapi pada sisi lain membutuhkan perjuangan. Demokrasi tak punya salah apa-apa. Bukan demokrasi yang menginginkan dirinya untuk tidak demokratis, tetapi generasi hari ini yang telah di berikan kecerdasan dan kekuasaan agar optimal memperjuangkan demokrasi, tanpa banyak menyalahkan masyarakat sementara kesalahan ada pada perilaku politik yang tidak terkontrol dengan tanggung jawab dan moral yang baik.

Lantas apa manfaat dari demokrasi dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, solidaritas, keadilan, kuatnya masyarakat sipil dapat tercapai dengan kondisi seperti ini. Kalau pemerintah dan pelaku elit tingkat atas hanya menfokuskan dirinya pada perebutan jabatan. Sementara demokrasi di mata rakyat, harus bisa memberikan kesejahteraan yang adil dan merata. Jika tidak! Demokrasi bisa kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi isu di pertarungan presiden selanjutnya, atau lebih pantas isu otoreterianisme/totaliterianisme yang cocok di perjuangkan kembali. Jelas tidak mungkin.

Beberapa kelemahan dalam memperjuangkan demokrasi, 1). Politik status quo, politik yang tidak memiliki prinsip untuk mensejahterahkan masyarakat secara keseluruhan, hanya mementingkan kepentingannya sendiri. 2). Tidak adanya regenerasi,  hampir semua angtora pemerintah, legislatif, dan partai-partai politik sudah mengalami usia yang tidak produktif lagi, makanya harus segera di ganti dengan generasi muda, cerdas dan berbakat, dan 3). perluasan dan pendalaman demokrasi partisipatif ke masyarakat dan pemerintah agar pemberdayaan kepada masyarakat menjadi perhatian penuh semua institusi (pemerintah, intelektual, LSM, dan swasta). 

Strategi perjuangan
Melihat fenomena demokrasi yang terjadi maka tak ada kata putus asa dalam perjuangan. Ingat pesan Nagabonar kepada Bujang di tengah kondisi perang melawan belanda dan keputus asaan Bujang. Nagabonar berkata : ”Dalam pertempuran jabatan tak menjadi penting, asalkan punya semangat bertempur, Bujang pun menjawab : betul Bang”


Kesalahan yang di lakukan oleh Si bujang adalah perlawanannya tidak di bangun dengan konsolidasi yang baik di internalnya, sampai-sampai Jendralnya tak tahu kalau Bujang akan berangkat perang di pagi harinya. Dari cerita film itu dapat kita membangun strategi perjuangan Demokrasi yang masih efektif untuk di jalankan secara umum yaitu  membangun konsolidasi yang kuat di kalangan para demokrat dan melakukan pendidikan demokrasi (prosedural, subtansi dan partisipatif) di semua kalangan masyarakat indonesia.

Memperjuangkan demokrasi adalah suatu pilihan karena menjadi satu pilihan tentu tanpa di rencanakan terdapat banyak tantangan yang datang menghadang perjuangan kita, sehingga di perlukan sebuah kesadaran kritis bahwa demokrasi harus di perjuangkan dengan tidak menghindari konsekuensi tetapi tetap berhati-hati terhadap konsekuensi negatif yang bakalan muncul, misalnya; menjadi tumbal perjuangan dan perilaku anarkis dalam berjuang, karena memperjuangkan demokrasi berarti melawan otoritarianisme, di indonesia aliran pahaman masih menjejaring di elit penguasa kita dengan terbuka dan memakai sistem kerja yang rapi.

Tantangan
Sebegitu besar manfaat demokrasi hingga perjuangan kita juga harus besar, terbuka dan rapi. Meski begitu tantangannya juga besar yaitu berupaya  meminimalisir konsekuensi yang di timbulkan dari pilihan sadar untuk memperjuangkan demokrasi yakni, adanya tumbal demokrasi dan sifat anarkis dalam perjuangannya. Sehinnga dengan seperti ini, usaha kita dalam memperjuangkan demokrasi dengan segala manfaatnya, menjadi sempurnah di mata sejarah yang di buat generasi muda pembaharuan ke depan.
Apple iPod touch 8 GB (4th Generation) NEWEST MODELAmazonBasics High Speed HDMI Cable (6.5 Feet / 2.0 Meters) - Supports Ethernet, 3D, and Audio Return [NEW MODEL]3 Pack of Universal Touch Screen Stylus Pen (Red + Black + Silver) 

0 komentar: